SENGKETA WARGA KEBONREJO DENGAN PTPN XII
Sejak jaman
Belanda, setidak-tidaknya di masa penjajahan Jepang 1942-1945, beberapa orang
warga masyarakat menggarap lahan tanah bebas atau melakukan penguasaan di
wilayah hutan di Desa Kebonrejo Kecamatan
Kalibaru , Kabupaten Banyuwangi .
Pada waktu itu lokasinya berdekatan dengan lahan yang dipergunakan perusahaan
perkebunan milik pemerintah kolonial. Dalam perkembangannya,
sampai dengan tahun 1991 warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten
Banyuwangi (warga), mengolah tanah penguasaan tersebut seluas kurang lebih 800
hektar. Lahan tersebut tadinya merupakan tanah negara bebas, tidak masuk
kawasan pengelolaan PT.
Perhutani , PT. Perkebunan Negara
(PTPN) maupun korporasi manapun.
Berdasarkan
keterangan pihak PTPN XII Malangsari Banyuwangi, tahun 2000 lahan yang telah
dikelola warga tersebut pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah kepada PTPN
XII, tetapi proses pemberian hak pengelolaan lahan tersebut tidak diketahui
oleh warga. PTPN
XII mengklaim mempunyai
hak mengelola tanah seluas kurang lebih 3.000 hektar. Sejak tahun 2001, menurut keterangan warga, PTPN XII telah
melakukan intimidasi bermacam-macam agar warga menyerahkan lahan tersebut
kepada PTPN XII, sehingga tahun 2003 dibuatlah perjanjian antara PTPN XII
dengan warga di hadapan Notaris yang disaksikan Muspika bahwa warga harus
menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII sampai batas akhir 7 Maret 2007. Ketika sampai batas waktu akhir tersebut
warga tidak bersedia meninggalkan lahan dengan alasan bahwa perjanjian
penyerahan lahan yang mereka lakukan kepada PTPN
XII dengan cara
terpaksa karena intimidasi oleh PTPN
XII yang cenderung
menggunakan alat keamanan negara atau polisi untuk menakut-nakuti mereka.
Tanggal 8
Maret 2007, sekitar jam 11.00 WIB ada patroli siang keamanan PTPN XII
yang melakukan intimidasi kepada petani perempuan sehingga perempuan tersebut
pingsan dua kali. Selanjutnya sekitar jam 15.00 WIB warga didatangi para polisi
yang dikawal pasukan BRIMOB melakukan teror dan mengeluarkan kata-kata : ”Tanah
nenekmu yang kamu tiduri ya!” Tanggal
9 Maret 2007, sekitar jam 10.00 WIB keamanan PTPN XII
yang dikawal pasukan BRIMOB dan beberapa personel TNI AD melakukan intimidasi
bahwa batas waktu bagi para petani untuk pergi dari lahan tersebut sudah habis
dan warga disuruh untuk meninggalkan lokasi lahan tersebut.
Tanggal 10
Maret 2007 sekitar jam 08.00, Kapolsek Kalibaru yang dikawal pasukan BRIMOB
datang di lokasi warga dan mengatakan bahwa warga telah melakukan perbuatan
melanggar hukum, dan jika warga tidak segera meninggalkan lahan tersebut maka
PTPN XII akan menuntut warga secara hukum. Siang harinya keamanan PTPN XII
dikawal oleh pasukan BRIMOB melakukan teror serta ancaman-ancaman kepada warga
di lahan-lahan yang ditempati warga. Malam harinya, tanggal 10 Maret 2007
Polres Banyuwangi menyerahkan surat panggilan kepada 7 orang warga yang dituduh
melakukan tindak pidana pasal 47 ayat (1) jo. pasal 21 UU No. 18/2004 tentang
Perkebunan dan pasal 335 KUHP.
Hingga
tanggal 18 Maret 2007 Penyidik
Polres banyuwangi telah menetapkan
24 orang warga sebagai tersangka. Menurut kesaksian para warga, sejak kejadian
pengusiran paksa tahun 2001 hingga Maret 2007 telah dilakukan pembongkaran
paksa dan pembakaran terhadap sekitar 7 rumah warga, dilakukan perusakan
terhadap tanaman warga, penebangan dan pencurian kayu besar-besaran di hutan,
serta dilakukan penganiayaan terhadap sejumlah warga oleh orang-orang yang
menjadi suruhan PTPN XII.
Objek sengketa : Lahan
Penggugat : Warga Desa
Kebonrejo
Tergugat PTPN
Perlu
dipahami lebih dulu bahwa sengketa antara warga dengan PTPN XII
merupakan perselisihan dengan obyek lahan atau tanah, yang notabene merupakan
Tanah Negara. Jika dilihat dari riwayat kasus tersebut, sesungguhnya pihak yang
lebih dulu menempati dan mengelola tanah tersebut sejak jaman penjajahan, dan
setelah tahun 2000 PTPN XII barulah diberikan hak untuk mengelolanya, meskipun
dalam hal ini klaim PTPN XII tersebut harus juga dijelaskan lebih dulu, dengan
keputusan mana dan sebatas mana hak pengelolaan itu diberikan.
Sebenarnya
secara hukum, penguasaan tanah yang berupa tanah yang bukan merupakan hak pihak
lain (tanah bebas) dapat dibenarkan secara hukum sebab Hukum Agraria mengenal
Hak Adat (pasal 5 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria),
di mana tanah Hak Adat muncul dengan cara penguasaan terhadap tanah bebas
(bukan hak atau milik pihak lain) yang kemudian dikuasai secara turun menurun
sehingga dinamakan menjadi tanah Hak Adat berdasarkan norma adat di daerah masing-masing.
Pasal 8 PP
No. 36 / 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar menentukan
bahwa tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas
tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan
sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah
memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan
baik (ayat 1). Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan
dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar,
maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar (ayat
2). Artinya, warga negara Indonesia
mempunyai kesempatan hukum untuk mengajukan permohonan hak milik atas
tanah-tanah bebas yang mereka kuasai. Tanah-tanah penguasaan tersebut baru
dinyatakan terlantar jika tidak diomohonkan hak atau tidak dipelihara dengan
baik.
Masyarakat
petani Desa Kebonrejo yang berselisih dengan PTPN XII itupun merupakan warga
negara Indonesia yang menurut hukum dapat menguasai tanah bebas dan mengajukan
permohonan hak milik atas tanah yang mereka kuasai tersebut, agar mempunyai
landasan hak atas tanah yang dikuasai mereka. Selama ini, PTPN
XII mendalilkan
mempunyai sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) tetapi tetap saja merahasiakannya.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mendasar; jika ada kejujuran dalam kasus
tersebut mengapa harus merahasiakan bukti hak? Ini sebagai indikasi awal bahwa
tidak ada transparansi dalam terbitnya hak pengelolaan bagi PTPN XII , yang
ada kaitannya dengan prinsip-prinsip Hukum Agraria
yang akan dijabarkan berikutnya ini.
Suatu Hak
Pengelolaan jika dirupakan dalam bentuk HGU atas tanah, berdasarkan pasal 28 –
34 UU No. 5 / 1960 (UUPA) hanya bisa terjadi atas tanah yang langsung dikuasai
negara dengan jangka waktu paling lama 35 tahun (untuk perusahaan) dan dapat
diperpanjang lagi selama 25 tahun. Selanjutnya aturan soal itu dapat dilihat
dalam PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah. Sebenarnya, ada soal ketidakadilan dalam
pemberian HGU atau Hak Pengeloaan kepada PTPN XII dalam perkara ini sebab
mestinya dalam proses pendaftaran HGU tersebut harus melalui pengumpulan data
fisik dan yuridis sebagaimana diatur menurut PP No. 24/1997 yang juga berlaku
untuk pendaftaran HGU (pasal 12 ayat 1 jo. pasal 9 ayat 1.a.). Kegiatan
pengumpulan data fisik dilakukan dengan pengukuran dan pemetaan (pasal 14).
Pertanyaannya: mengapa pada saat dilakukan pengumpulan data fisik tersebut para
petugas Kantor Pertanahan dan pihak PTPN XII seolah-olah tidak melihat warga
yang lebih dulu menguasai lahan tersebut?
Jika dilihat
dari soal keadilan dalam memperoleh hak tempat tinggal dan matapencaharian
sebagaimana dijamin dalam pasal 27 dan 28 UUD 1945, yang juga berkaitan dengan
soal prioritas dalam memperoleh hak, maka warga yang sejak jaman penjajahan
hingga keturunannya telah tinggal dilahan tersebut tentu mempunyai hak lebih
dulu untuk mengajukan permohonan hak milik. Artinya, seharusnya dalam
proses permohonan HGU tersebut pemerintah harus melihat bahwa di lahan tersebut
ada masyarakat yang menguasai dan memelihara lahan tersebut yang perlu
mendapatkan hak-hak sebagai warga negara.
Warga sebagai
warga negara Indonesia
mempunyai kedudukan hak yang tidak boleh diabaikan. Setiap penguasaan hak-hak
adat atas tanah di negara manapun di dunia ini selalu dimulai dengan penguasaan
tanah-tanah bebas yang pada mulanya belum masuk dalam daftar tanah negara.
Bahkan berdasarkan pasal 24 PP No. 24/1997, alat bukti kepemilikan hak atas
tanah jika tak dapat dibuktikan dengan alat bukti tertulis maka dibuktikan
dengan alat bukti defacto yaitu fakta penguasaan hak atas tanah
selama 20 tahun berturut-turut dengan syarat terbuka, beritikad baik, dengan
saksi-saksi terpercaya dan tidak dipersoalkan masyarakat hukum adat, desa
ataupun pihak-pihak lain.
Jadi,
pemberian hak pengeloaan atas lahan yang telah ditempati warga tersebut kepada
PTPN XII merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip keadilan sosial sebab
melanggar asas partisipasi sosial sebab tidak dilakukan proses yang terbuka.
Artinya, jika benar bahwa PTPN
XII telah
memperoleh HGU dilokasi tanah yang telah dikuasai warga maka perolehan HGU
tersebut cacat hukum karena dilakukan engan itikad tidak baik atau dengan cara sembunyi-sembunyi, meski mungkin pernah ada
publikasi secara formal tapi malah mengabaikan warga selaku pihak yang lebih
dulu menguasai dan memelihara tanah tersebut. Setelah PTPN XII memperoleh Hak Pengelolaan maka
barulah PTPN
XII berkomunikasi
dengan warga dengan cara mengintimidasi
orang-orang kecil yang awam hukum tersebut. Fakta seperti itu oleh hukum
disebut sebagai penyalahgunaan keadaa dengan cara
mempergunakan kekuasaan untuk menekan masyarakat yang lemah. Sebenarnya bagi pemerintah, kasus ini
mudah diselesaikan jika tidak ada kebijakan politik yang memihak kepada PTPN XII .
Seandainya negara c.q. pemerintah bersedia memberikan hak milik atas tanah
kepada rakyat maka hal itu sama mudahnya dengan dikeluarkannya HGB, HGU ataupun
Hak Pakai atas tanah negara kepada para korporasi. Kasus ini hanya persoalan
kehendak otoritas pemberi hak-hak atas tanah yang masih selalu bersikap tidak
adil kepada rakyat.
Ketidakadilan
sosial seperti itulah yang akan terus-menerus memicu pembangkangan masyarakat
sipil selaku korban, yang dalam kurun waktu ke waktu selalu menjadi masalah
berat bagi pemerintah sendiri. Atas
dasar ketidakadilan, itikad tidak baik, serta penyalahgunaan keadaan seperti
itulah maka warga dapat menggugat pemerintah dan PTPN XII
agar diperlakukan adil dalam memiliki hak atas tanah atau lahan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar