Jumat, 12 April 2013

SENGKETA WARGA KEBONREJO DENGAN PTPN XII


SENGKETA WARGA KEBONREJO DENGAN PTPN XII

Sejak jaman Belanda, setidak-tidaknya di masa penjajahan Jepang 1942-1945, beberapa orang warga masyarakat menggarap lahan tanah bebas atau melakukan penguasaan di wilayah hutan di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi. Pada waktu itu lokasinya berdekatan dengan lahan yang dipergunakan perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial.  Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 1991 warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi (warga), mengolah tanah penguasaan tersebut seluas kurang lebih 800 hektar. Lahan tersebut tadinya merupakan tanah negara bebas, tidak masuk kawasan pengelolaan PT. Perhutani, PT. Perkebunan Negara (PTPN) maupun korporasi manapun. 
Berdasarkan keterangan pihak PTPN XII Malangsari Banyuwangi, tahun 2000 lahan yang telah dikelola warga tersebut pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah kepada PTPN XII, tetapi proses pemberian hak pengelolaan lahan tersebut tidak diketahui oleh warga. PTPN XII mengklaim mempunyai hak mengelola tanah seluas kurang lebih 3.000 hektar. Sejak tahun 2001, menurut keterangan warga, PTPN XII telah melakukan intimidasi bermacam-macam agar warga menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII, sehingga tahun 2003 dibuatlah perjanjian antara PTPN XII dengan warga di hadapan Notaris yang disaksikan Muspika bahwa warga harus menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII sampai batas akhir 7 Maret 2007. Ketika sampai batas waktu akhir tersebut warga tidak bersedia meninggalkan lahan dengan alasan bahwa perjanjian penyerahan lahan yang mereka lakukan kepada PTPN XII dengan cara terpaksa karena intimidasi oleh PTPN XII yang cenderung menggunakan alat keamanan negara atau polisi untuk menakut-nakuti mereka.
Tanggal 8 Maret 2007, sekitar jam 11.00 WIB ada patroli siang keamanan PTPN XII yang melakukan intimidasi kepada petani perempuan sehingga perempuan tersebut pingsan dua kali. Selanjutnya sekitar jam 15.00 WIB warga didatangi para polisi yang dikawal pasukan BRIMOB melakukan teror dan mengeluarkan kata-kata : ”Tanah nenekmu yang kamu tiduri ya!” Tanggal 9 Maret 2007, sekitar jam 10.00 WIB keamanan PTPN XII yang dikawal pasukan BRIMOB dan beberapa personel TNI AD melakukan intimidasi bahwa batas waktu bagi para petani untuk pergi dari lahan tersebut sudah habis dan warga disuruh untuk meninggalkan lokasi lahan tersebut. 
Tanggal 10 Maret 2007 sekitar jam 08.00, Kapolsek Kalibaru yang dikawal pasukan BRIMOB datang di lokasi warga dan mengatakan bahwa warga telah melakukan perbuatan melanggar hukum, dan jika warga tidak segera meninggalkan lahan tersebut maka PTPN XII akan menuntut warga secara hukum. Siang harinya keamanan PTPN XII dikawal oleh pasukan BRIMOB melakukan teror serta ancaman-ancaman kepada warga di lahan-lahan yang ditempati warga. Malam harinya, tanggal 10 Maret 2007 Polres Banyuwangi menyerahkan surat panggilan kepada 7 orang warga yang dituduh melakukan tindak pidana pasal 47 ayat (1) jo. pasal 21 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan dan pasal 335 KUHP.
Hingga tanggal 18 Maret 2007 Penyidik Polres banyuwangi telah menetapkan 24 orang warga sebagai tersangka. Menurut kesaksian para warga, sejak kejadian pengusiran paksa tahun 2001 hingga Maret 2007 telah dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran terhadap sekitar 7 rumah warga, dilakukan perusakan terhadap tanaman warga, penebangan dan pencurian kayu besar-besaran di hutan, serta dilakukan penganiayaan terhadap sejumlah warga oleh orang-orang yang menjadi suruhan PTPN XII.
ANALISIS KASUS  :
Objek sengketa : Lahan
Penggugat : Warga Desa Kebonrejo
Tergugat PTPN
Perlu dipahami lebih dulu bahwa sengketa antara warga dengan PTPN XII merupakan perselisihan dengan obyek lahan atau tanah, yang notabene merupakan Tanah Negara. Jika dilihat dari riwayat kasus tersebut, sesungguhnya pihak yang lebih dulu menempati dan mengelola tanah tersebut sejak jaman penjajahan, dan setelah tahun 2000 PTPN XII barulah diberikan hak untuk mengelolanya, meskipun dalam hal ini klaim PTPN XII tersebut harus juga dijelaskan lebih dulu, dengan keputusan mana dan sebatas mana hak pengelolaan itu diberikan.
Sebenarnya secara hukum, penguasaan tanah yang berupa tanah yang bukan merupakan hak pihak lain (tanah bebas) dapat dibenarkan secara hukum sebab Hukum Agraria mengenal Hak Adat (pasal 5 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), di mana tanah Hak Adat muncul dengan cara penguasaan terhadap tanah bebas (bukan hak atau milik pihak lain) yang kemudian dikuasai secara turun menurun sehingga dinamakan menjadi tanah Hak Adat berdasarkan norma adat di daerah masing-masing.
Pasal 8 PP No. 36 / 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar menentukan bahwa tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik (ayat 1). Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar (ayat 2). Artinya, warga negara Indonesia mempunyai kesempatan hukum untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah-tanah bebas yang mereka kuasai. Tanah-tanah penguasaan tersebut baru dinyatakan terlantar jika tidak diomohonkan hak atau tidak dipelihara dengan baik.
Masyarakat petani Desa Kebonrejo yang berselisih dengan PTPN XII itupun merupakan warga negara Indonesia yang menurut hukum dapat menguasai tanah bebas dan mengajukan permohonan hak milik atas tanah yang mereka kuasai tersebut, agar mempunyai landasan hak atas tanah yang dikuasai mereka. Selama ini, PTPN XII mendalilkan mempunyai sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) tetapi tetap saja merahasiakannya. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mendasar; jika ada kejujuran dalam kasus tersebut mengapa harus merahasiakan bukti hak? Ini sebagai indikasi awal bahwa tidak ada transparansi dalam terbitnya hak pengelolaan bagi PTPN XII, yang ada kaitannya dengan prinsip-prinsip Hukum Agraria yang akan dijabarkan berikutnya ini.
Suatu Hak Pengelolaan jika dirupakan dalam bentuk HGU atas tanah, berdasarkan pasal 28 – 34 UU No. 5 / 1960 (UUPA) hanya bisa terjadi atas tanah yang langsung dikuasai negara dengan jangka waktu paling lama 35 tahun (untuk perusahaan) dan dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun. Selanjutnya aturan soal itu dapat dilihat dalam PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah. Sebenarnya, ada soal ketidakadilan dalam pemberian HGU atau Hak Pengeloaan kepada PTPN XII dalam perkara ini sebab mestinya dalam proses pendaftaran HGU tersebut harus melalui pengumpulan data fisik dan yuridis sebagaimana diatur menurut PP No. 24/1997 yang juga berlaku untuk pendaftaran HGU (pasal 12 ayat 1 jo. pasal 9 ayat 1.a.). Kegiatan pengumpulan data fisik dilakukan dengan pengukuran dan pemetaan (pasal 14). Pertanyaannya: mengapa pada saat dilakukan pengumpulan data fisik tersebut para petugas Kantor Pertanahan dan pihak PTPN XII seolah-olah tidak melihat warga yang lebih dulu menguasai lahan tersebut?
Jika dilihat dari soal keadilan dalam memperoleh hak tempat tinggal dan matapencaharian sebagaimana dijamin dalam pasal 27 dan 28 UUD 1945, yang juga berkaitan dengan soal prioritas dalam memperoleh hak, maka warga yang sejak jaman penjajahan hingga keturunannya telah tinggal dilahan tersebut tentu mempunyai hak lebih dulu untuk mengajukan permohonan hak milik.  Artinya, seharusnya dalam proses permohonan HGU tersebut pemerintah harus melihat bahwa di lahan tersebut ada masyarakat yang menguasai dan memelihara lahan tersebut yang perlu mendapatkan hak-hak sebagai warga negara.
Hakikat Hukum bersifat menciptakan keadilan sosial sebagaimana menurut pasal 6 UUPA bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. PTPN XII tidak boleh dengan alasan legal formal sebagai pemegang HGU lantas menyingkirkan warga dengan cara yang kasar sebab hal itu melanggar Hukum.
Warga sebagai warga negara Indonesia mempunyai kedudukan hak yang tidak boleh diabaikan. Setiap penguasaan hak-hak adat atas tanah di negara manapun di dunia ini selalu dimulai dengan penguasaan tanah-tanah bebas yang pada mulanya belum masuk dalam daftar tanah negara. Bahkan berdasarkan pasal 24 PP No. 24/1997, alat bukti kepemilikan hak atas tanah jika tak dapat dibuktikan dengan alat bukti tertulis maka dibuktikan dengan alat bukti defacto yaitu fakta penguasaan hak atas tanah selama 20 tahun berturut-turut dengan syarat terbuka, beritikad baik, dengan saksi-saksi terpercaya dan tidak dipersoalkan masyarakat hukum adat, desa ataupun pihak-pihak lain.
Jadi, pemberian hak pengeloaan atas lahan yang telah ditempati warga tersebut kepada PTPN XII merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip keadilan sosial sebab melanggar asas partisipasi sosial sebab tidak dilakukan proses yang terbuka. Artinya, jika benar bahwa PTPN XII telah memperoleh HGU dilokasi tanah yang telah dikuasai warga maka perolehan HGU tersebut cacat hukum karena dilakukan engan itikad tidak baik atau dengan cara sembunyi-sembunyi, meski mungkin pernah ada publikasi secara formal tapi malah mengabaikan warga selaku pihak yang lebih dulu menguasai dan memelihara tanah tersebut. Setelah PTPN XII memperoleh Hak Pengelolaan maka barulah PTPN XII berkomunikasi dengan warga dengan cara mengintimidasi orang-orang kecil yang awam hukum tersebut. Fakta seperti itu oleh hukum disebut sebagai penyalahgunaan keadaa dengan cara mempergunakan kekuasaan untuk menekan masyarakat yang lemah. Sebenarnya bagi pemerintah, kasus ini mudah diselesaikan jika tidak ada kebijakan politik yang memihak kepada PTPN XII. Seandainya negara c.q. pemerintah bersedia memberikan hak milik atas tanah kepada rakyat maka hal itu sama mudahnya dengan dikeluarkannya HGB, HGU ataupun Hak Pakai atas tanah negara kepada para korporasi. Kasus ini hanya persoalan kehendak otoritas pemberi hak-hak atas tanah yang masih selalu bersikap tidak adil kepada rakyat.
Ketidakadilan sosial seperti itulah yang akan terus-menerus memicu pembangkangan masyarakat sipil selaku korban, yang dalam kurun waktu ke waktu selalu menjadi masalah berat bagi pemerintah sendiri. Atas dasar ketidakadilan, itikad tidak baik, serta penyalahgunaan keadaan seperti itulah maka warga dapat menggugat pemerintah dan PTPN XII agar diperlakukan adil dalam memiliki hak atas tanah atau lahan tersebut.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar